“Jagalah jantung, jangan kau nodai. Jagalah jantung, lentera hidup ini.”
Adakah keanehan setelah kita membaca secuplik lagu di atas? Pastinya, karena kata “hati” yang sebenarnya lirik asli dari lagu tersebut saya ganti dengan “jantung”. Tidak lazim memang, namun mari kita gali lagi maksud kata “hati” tersebut dengan melihat dari berbagai sisi pandang. Sering kita pahami bahwa kata heart berarti hati atau perasaan. Sedangkan jika kita mengkaji dalam segi bahasa heart berarti jantung, dan hati sendiri dalam bahasa inggris disebut liver.
Jika dalam bahasa Indonesia perasaan seseorang diartikan sebagai “hati” yang berfungsi sebagai penawar racun. Dalam bahasa Inggris, Jepang dan Arab perasaan seseorang diartikan sebagai “heart/kokoro/qolbun” yang berarti jantung, yang mana tanpa jantung seseorang tidak bisa hidup, dan disebutkan pula sebagai pusat seluruh kepribadian, terutama yang berhubungan dengan perasaan dan emosi.
Tanpa melihat terminologi sebenarnya, secara visual pun lambang heart atau (orang awam ada yang mengatakan) love atau cinta, itu lebih menyerupai jantung. Love sebagai sumber kehidupan nampaknya lebih pas jika disandang oleh jantung yang memang terus membuat kita hidup. Lalu bagaimana dengan film “Heart” yang dibintangi Acha dan Irwansyah yang pada inti film itu menceritakan penyakit hati (baca: liver) yang diderita oleh tokoh utama. Apakah kini heart mengalami penyetaraan definisi secara sosial dan medis? Atau hanya oknum-oknum tertentu saja yang berusaha menyetarakannya?
Sebagian pendapat mengatakan bahwa hati memiliki makna ambigu. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, hati mempunyai beberapa arti yaitu: ( 1) organ badan yang berwarna kemerah-merahan di bagian kanan atas rongga perut, gunanya untuk mengambil sari-sari makanan di dalam darah dan menghasilkan empedu; (2) sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian (perasaan dan sebagainya): segala sesuatunya disimpan di dalam --; membaca dalam -- , membaca dalam batin (tidak dilisankan).
Fakta di atas didukung pula dengan adanya hadits yang menjelaskan keduanya secara jelas. Yang pertama, hati (heart) yang bermakna jantung. Contohnya dalam penggunaan istilah heart attack yang berarti serangan jantung. Ada sebuah hadits yang cukup populer di masyarakat yang berbunyi, “Sesungguhnya di dalam jasad ada sebongkah daging. Jika ia baik, maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak, maka rusaklah jasad keseluruhannya. Bongkahan daging itu adalah hati”. Yang dimaksud hati di sini adalah jantung (organ yang sarat dengan otot yang fungsinya menghisap dan memompa darah, terletak di tengah dada agak miring).
Yang kedua, hati (heart) yang bermakna hati nurani, atau perasaan. Ada sebuah hadits yang menyatakan, “Sesungguhnya orang yang beriman itu kalau berdosa akan terbentuk bercak hitam di qalbunya.” (Ibnu Majah) qalbu yang dimaksud di hadits tersebut adalah qalbu nurani. Ruh adalah wujud yang tidak bisa dilihat secara visual, yang dalam bahasa indonesia biasa disebut “hati nurani”. Mungkin karena terlalu panjang, orang Indonesia menyebutnya dengan “hati” saja. Hati yang menghitam pada hadits tersebut bermakna perumpamaan atau majas, yang berarti bukan makna sebenarnya.
Sampai sekarang di Indonesia organ tubuh yang populer dipakai untuk menyimbolkan perasaan adalah hati. Awalnya, bukan hanya di Indonesia saja hati sebagai simbol perasaan atau emosi tetapi hampir seluruh dunia merujuk pada organ hati (bukan jantung).
Mari kita tinjau dari historikal sejarahnya. Ada dua buah jurnal yang merujuk pada ilmu anatomi awal pada masa Yunani kuno. Pada masa itu, masyarakat percaya bahwa dalam darah mengalir jiwa. Karena pada saat mempelajari anatomi tubuh binatang, hati adalah organ yang paling banyak mengandung darah, maka ahli meyakini bahwa di dalam hati lah terletak jiwa (soul). Karena itulah persembahan jiwa pada masa itu adalah menggunakan hati binatang. Pengakuan hati sebagai organ paling vital bisa ditelusur pada karya sastra sezaman. Peristiwa pembunuhan tidak melukai otak ataupun jantung, tapi hati. Protomeus dihukum Zeus dengan menyuruh elang raksasa memakan hatinya. Hades menghukum Tytos dengan mnyuruh dua burung bangkai mematuki hatinya. Selain itu lihat kata Life atau Live yang memiliki kemiripan dengan liver-yang mungkin berakar pada hal yang sama. Bahasa Jerman pun seperti itu, hidup (leben) dan hati (leber). Kata hati banyak dipakai di negara-negara dunia untuk menyimbolkan keberanian atau perasaan. Jadi kata-kata yang sekarang di dunia barat didominasi oleh jantung seperti, lion-herted, stony-hearted, heartless, broken heart, dan sebagainya. Pada waktu dulu hal ini dipegang oleh hati.
Jika kita merunut perkembangan simbolisasi ini dan mengaitkannya dengan bagaimana dunia Arab pernah membawa ilmu anatomi Yunani Kuno pada masa Galen, mungkin ilmu ini telah disebarkan juga ke Indonesia. Kemudian, bisa jadi masyarakat kita ‘terlambat’ menerima ilmu anatomi baru (dimana jantung mulai dianggap lebih penting dari hati) sehingga tidak mengikuti sosiokultur untuk mengubah ‘jantung’ sebagi simbolisasi jiwa atau perasa. Ketika bangsa barat mulai masuk ke Indonesia, penggunaan hati sebagi simbol sudah terlanjur mendarah daging.
Permasalahannya di Indonesia adalah tidak berubahnya pengertian hati sebagai perasaan dari awal munculnya hingga sekarang. Padahal negara-negara lain sudah mengubah pengertian perasaan, emosi, seluruh yang terkait dengan kepribadian manusia menjadi jantung (baca : heart). Ada pendapat yang mengatakan, ini karena bangsa kita saja yang tidak mau menerima pembenaran dan tetap berpegang dengan teori terdahulu. Bisa dikatakan sesuatu yang salah yang sudah terlanjur terjadi dan dijalankan bertahun-tahun, walaupun salah akan jadi sesuatu yang benar menurut pandangan siapapun. Tidak akan berubah jika tidak ada yang mau merubahnya menjadi benar. Apakah kita harus memperbaharui perbendaharaan kata kita dengan mengubah kata “hati” menjadi “jantung”? Terdapat pendapat lain menganggap itu tidak perlu dengan penjelasan dari segi pendekatan sosial dan budayanya.
Karena bahasa adalah budaya, jadi belajar bahasa sama dengan belajar budaya. Bahasa tidak hanya bermakna harfiah (literal), tapi juga bisa dalam bentuk kiasan (idiom). Kita bisa menggunakan apapun untuk mengungkapkan sesuatu, asal ada kesepakatan bersama dalam suatu komunitas. Seperti kebiasaan orang Inggris yang suka menggunakan jenis-jenis warna untuk menunjukkan suasana hatinya, seperti “I feel blue” yang bermakna saya sedih; Kalimat “May I wash myhand?” yang artinya bolehkah saya mencuci tangan saya, sebenarnya diartikan untuk meminta izin ke kamar kecil. Ada lagi istilah “ac/dc” di Amerika bermakna banci, tapi di negara lain itu berarti arus bolak balik. Jika ditinjau dari sosiokulturnya bahasa bisa berlaku tergantung pada siapa saja yang sepakat memakainya. Jika kita memaksakan jantung sebagai pengganti istilah hati yang selama ini kita gunakan untuk mengungkapkan perasaan dan batin, silahkan saja asal semua setuju, atau kita bisa saja menggunakan kata lain asal disepakati oleh 220 juta orang negeri ini.
Perubahan itu akan sedikit aneh terdengar memang, jika kita mulai mengganti satu persatu istilah hati menjadi jantung. Seperti cuplikan lagu Aa Gym yang saya kutip di awal esai ini. Contoh lainnya yaitu, kalimat “akhirnya kita bicara dari hati ke hati” menjadi “Akhirnya kami berbicara dari jantung ke jantung”, atau istilah “patah hati” bisakah kita ganti dengan istilah “patah jantung”, atau lirik-lirik lagu Indonesia yang banyak menggunakan kata “hati” sebagai perasaan, emosi, dan cinta. Lirik “Ku akui ku main hati” diganti dengan “Ku akui ku main jantung” pasti sangat aneh kedengarannya. Lalu bagaimana dengan pernyataan “hati ku berdebar-debar melihat dirinya” kadang sang pembicara sambil mengelus-elus dadanya. Apa yang dielus? Bukankah itu jantung? Kerancuan kata ini karena budaya yang sulit diubah. Juga karena dari awal kita sudah biasa dengan istilah hati, keanehan ini sama seperti jika kita ganti istilah apel menjadi pisang. Dan mari kita kembalikan lagi lirik lagu di awal artikel ini ke lirik aslinya,
“Jagalah hati, jangan kau nodai. Jagalah hati, lentara hidup ini.”

2 komentar: