Sepertinya penghuni langit mulai marah
Banyak mendung yang tak memberi hujan
Layaknya mentari tak beri panas
Seperti hadirnya harapan tanpa kepastian

Ketika hujan mulai mengajarimu arti perubahan. Perpindahan. Dan melepas.
Perubahan dari hangat ke dingin.
Perpindahan dari puncak ke jurang.
Juga melepas kepergian setiap elemen kepemilikan rinai..

Malam ini pandanganku kembali kosong, bertahan lama pada arah yg tetap sama.
Terbaca sebuah rindu yg lelah kemudian menyerah.
Rindu ini terlalu kuat, ia mengingatmu dalam lirih,
menyambangimu dalam doa..

Lagu mengalun bersama sajakku yang melantun saling bersahutan..
Bersahutan bersama dg memori dinginnya malam bersamamu..
tempo lagu yang semakin cepat mengingatkan cepatnya detak jantungku saat itu
Kau menjelma malam dalam diam dan berkata, “Kau, sang pemeluk bulan”
aku hanya bisa tersenyum, dan berharap hujan semakin deras..
Nampaknya bulan dan bintang memang enggan keluar..
mereka menertawakanku yang tenggelam dalam rayuan dan kegamangan
Terlalu tinggi ku gantungkan potret diri.

Ah sudahlah..
Kuharap hujan habis dalam malam
Karena setiap fajar aku akan kembali menjadi anak-anak revolusi yang selalu sadar..
hidup bukanlah permainan
Ya, sekembalinya fajar, mentari akan bersiap mengiringi langkah-langkah perubahan

Perubahan yang menunjukkan satu arah, Cita. Bukan kamu.

...

Senja di Ciputat, 12. 12. 2013

(Loubna-D'cha)


Di re-post juga di  http://rizkanurula.wordpress.com/2013/12/14/aku-dan-hujan/

Leave a Reply