Pelajaran pertama

Mungkin sudah satu putaran bumi mengitari pusat tata surya,
Goresan itu membekaskan luka yang masih menyisa tanda,
Mungkin kebesaran diri pun selalu merasa tidak terima untuk disakiti.
Padahal siapalah hamba?
Jangankan menghakimi makhluk-makhlukmu yang menyakiti,
Menghakimi diri sendiri pun rasanya perlu waktu hingga seumur hidupku.

Rasanya baru kemarin kita saling menatap.
Namun kini sudah satu dekade kita saling melupa dan pura-pura lupa.
Lupa pernah mengenal atau lupa pernah saling mencinta.
Itulah drama, melodi kehidupan yang berisi gelap dan terang,
terisi tawa dan tangis, juga cerita dan derita.
Pada siapapun yang pernah terluka.
Mungkin posisi terluka tidak selalu dirgikan.
Yang kurasa adalah,
hatiku ternyata masih terlalu sombong,
karena merasa tak pantas dilukai sesama manusia.
Padahal Siapalah hamba?
Bahkan untuk dilukai oleh puluhan orang pun rasanya hamba masih pantas mendapatkan?
Padahal Siapalah hamba ini?
Bahkan diri sendiri pun tidak lebih baik dari ibadah yang menyakiti.
Padahal siapalah hamba ini?
Bahkan diri begitu merasa paling suci dan paling benar diantara yang lain.

Pelajaran kedua

Pelajaran kedua ini berbalik
Tak disangka kini diri inilah yang menjadi tersangka,
Diri yang sombong inilah yang menyakiti dan mengkhianati,
Hingga ia pergi tanpa permisi
Bahkan meninggalkanku dengan ketidakberdayaan kesalahanku.
Rasa ternyata tak mampu menjelaskan bahkan untuk secuil kesalahpahaman.
Melupakan bahwa kita pernah saling peduli dan saling berbagi.
Mengikis bahwa kita pernah sama-sama berjuang dalam satu tujuan.
Menghapus semua terimakasih dan senyuman-senyuman yang tak henti setiap harinya.

Mencari kawan hidup memang tak semudah mencari kawan arisan.
Kita tidak ditakdirkan untuk bersama hanya untuk satu kepentingan.
Dan yang akan menemani akan terseleksi oleh badai yang menghadang.
Masalah selalu datang menguji keegoisan dan sifat keakuaan?
Masih tebal kah?
Atau sudah lebur menjadi kita?

Kawan hidup itu tidak pernah meninggalkan.
Sekalipun kita sudah tak beraga.
Kawan hidup selalu menerima kelemahan, kesalahan, dan ketidakberdayaan.
Kawan hidup tidak pernah menduakan, mentigakan, atau mengesampingkan.





Sangat mudah baginya untuk mengabulkan melampaui yang kita bayangkan.
Sangat mudah sekali.
Namun kita seringkali yang ragu dengan kemampuannya.

...
Banyak bekerja. Sedikit berharap.
Banyak berdoa. Sedikit berprasangka.
Ridlo akan jalan yg digariskan,
Mensyukuri setiap kesedihan dan kebahagiaan dengan kesyukuran yang sama.
Pasrah sepasrah pasrahnya.
Pasrah layaknya tidak ada daya sama sekali dari diri.
kecuali bermuara dari pertolonganNya.

....
Aku mampu bermimpi lebih tinggi dari kemarin.
Namun hati rasanya harus terus belajar lebih lapang dari kemarin.
Jika senjata diberikan,ingin kutebas satu persatu, keinginan-keinginan yang tak pernah usai itu.
Namun apalah daya, bahkan diri ini pun masih belum mampu melawannya sendiri.

...
Mengalir seperti air dengan ketenangan yang syahdu.
Berbunyi gemericik sebagai dinamika pengisi tenangnya kesunyian.
Pasrah pada jalan nya yang akan dituju. Terus melaju melewati batu-batu rintangan yang membentang.
Kembali seperti sedia kala meski sempat terkoyak dan tak beraturan.
Sesederhana itu.
Menjalankan semua sebagai amanah (alat) bukan tujuan.
Menjalankan lakon kemanusiaan dengan sebaik2nya peran tanpa berlebihan.
Lalu kembali menjadi jati diri- jati diri sunyi yang mampu melampaui batas pikiran dan dimensi.
Tak ada rasa cemas. Tak ada kekhawatiran tentang besok mau makan apa.

...
Menghirup nafas dengan ketulusan, memaknai setiap gerakan dengan kebatinan.

...
Ramai ternyata dunia sunyi ini. Penghuninya sudah ramai berlomba dalam kesunyian.
Berlomba semakin diam dan semakin sunyi.

...
Banyak yang mengerti tapi sedikit yg bisa menikmati.
Banyak yg menyadari namun tetap sedikit yang mampu mengabdikan diri.

...
Cinta bukanlah kata-kata.
Ia bernafas lewat tindakan dalam diam, dan pembuktian dalam keheningan.
Ia akan meminta pembuktian kita untuk menderita.
Menderita menghilangkan ego keakuan yang begitu besar.
Menyiksa kita untuk memudarkan kepedulian pada diri sendiri yang begitu bingar.
Menganiaya kita untuk lebih mementingkan keinginan kekasih kita dibanding mengabulkan kepentingan jiwa dan nyawanya sekalipun.
Dan sampai tiba waktunya nanti kita sama-sama meninggalkan kefanaan.
Mimpi-mimpi yang membekas adalah yang paling menyedihkan.
Yang paling menganiaya kita dalam rasa sakit yang berkepanjangan.
Yang meleburkan semua keakuan dan pendirian terhadap diri sendiri lenyap menyatu. Bersatu dengan pangkal penciptaan.

Mari merenungi detik-detik kehilangan kita pada bulan lumbung segala pengkabulan.
Mari benahi pakaian yang sobek terkoyak oleh setan kelupaan dan kealpaan yang tak kenal kurungan zaman.
Mari berdoa lagi untuk semua harapan yang kita sandarkan pada pemilik kunci jawaban.
Mari berpasrah lagi pada yang Maha menentukan semua garis ketentuan.
Mari berpasrah lagi.
Mari merebah lagi pada yang mempunyai seribu pintu maaf kasih sayang.
Mari berserah lagi pada satu-satunya sumber kekuatan.
Mari berlemah lagi.
Mari berkeyakinan dan bershalawat lagi pada satu-satunya pemberi jalan cahaya kita menujunya..
Baginda kami tersayang Rasulullah, yang tanpa cahaya dan rahmatnya,
Kita hanya seoonggok daging hidup yang kebingungan mencari jalan pulang.

-
Maaf bathin atas dosa yang mungkin terabai dari maaf lahir,
Maaf bathin atas prasangka-prasangka satu sama lain, yang belum terucap namun sudah menuai noda,
Maaf bathin atas segala maaf lahir yang belum benar-benar tulus diucapkan.
Maaf bathin juga untuk hati ini yang mungkin belum tulus bisa memaafkan lahir bathin.

Ramadhan 221435 h.
Tol Cipali Km 102