Jejak pertamaku di kampus ini adalah pada saat aku ingin membeli satu kitab untuk keperluan pondokku setahun yang lalu. Tak ada chemistri apa-apa yang aku rasakan. Semua nampak biasa-biasa saja dan panas pastinya. Sampai akhirnya skenario Tuhan membawaku untuk menuntut ilmu di kampus yang banyak disebut orang sebagai kampus peradaban ini.
Jika banyak para pakar Islam masyarakat Indonesia mayoritas taklid terhadapa semua aspek ajaran-ajaran ibadah, bisa dikatakan benar. Aku lahir di keluarga muslim, aku megikuti bagaimana ayah dan ibuku sholat , bagaimana guruku mengaji, dan bagaimana mereka bergaul dan berpakaian. Konsep taklid disini berupa tarbiyah. Dimana setiap anak akan mengikuti segala sesuatu yang terjadi di sekelilingnya.

Lalu menginjak remaja ia akan menikmati apa yang ia ikuti sedikit demi sedikit meski belum mengenal jati diri dan tujuan hidup sendiri. Masa-masa ransisi remaja menuju dewasa inilah yang menurut saya bisa disebut masa pencarian Tuhan. Dimana berbagai ideologi ajaran dari lingkungannya akan datang dan pergi. Jika ia tidak punya pedoman yang kuat di masa kecilnya, bukan tidak mungkin ia akan gampang terpengaruh dan terombang-ambing mana jalan yangpaling benar. Pada masa inilah, ada yang sukse, ada yang tidak. Mulai mmnyadari eksistensi keberadaan Tuhan dengan berbagaimacam cara dialognya, cobaannya dan tanda-tandanya.
Mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk hilir mudik keluar masuk kampus dengan pakaian yang mengidentitaskan dirinya masyarakat universiatas Islam sangat majmuk. Wajar jika sebagian pengamat menilai UIN adlaah kampus peradaban. Ia layaknya miniatur Islam Indonesia. Indonesia dengan negara penduduk terpadat ketiga yang mayoritas muslim ini, aku fikir penuh berkah. Sumberdaya alam yang melimpah, tak ada kekeraan besar antar umat beragama dan kehidupan berbangsanya yang plural dan bebas.
Di kampus ini, berbagai macam penampilan bisa kitaa lihat, berbagai macam corak ideologi bisa kita temukan. Ada yang bercadar, ada yang jilbaber, ada yang biasa saja, ada pula yang menjadikan hijab sebagai formalitas akademik saja. Ada yang berjenggot, ada yang selalu pakai peci, ada yang pakai kaos saja, bahkan ada pula yang mirip preman gondrongnya. Berbagai macam karakter mahasiswa dengan title islam yang sama di KTP mereka masing-masing.
Jika kita ingin telisik lebih dalam, ormas-ormas Islam pun hidup dan berkembang di sini. Sebut saja 2 Ormas Islam Besar, NU dan Muhammadiah dengan gerkaan mahasiswanya yang biasa disebut HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiah), lalu disusul dengan Organisasi Internasional Hizbut Tahrir, LDK (Lembaga Dakwah Kampus), FPI (Front pembela Islam)bahkan jaringan yang banyak pakar berpendapat dianut oleh beberapa dosen-dosen UIN sendiri, yaitu Jariangn Islam Liberal. Ormas-ormas ini sudah tidak asing lagi di telinga para mahasiswa UIN.
Jika ditinjau dari segi kemajemukan, ormas-ormas ini begitu komplit memenuhi fungsinya masing-masing. Ada yang fokus dalam kajian, ada yang tugasnya memegang pedang, ada yang fokus pada pendidikan, ada pula yang mengutamakan muamalah dan syariatnya. Mereka memenuhi fungsinya masing-masing sehingga terlihat komplit dan seimbang. Namun, faktanya adalah tak jarang dari ormas-ormas tersebut malah menggembosi satu sama lain, akhirnya timbullah perpecahan antara kelompok dalam umat islam itu sendiri. Seharusnya ormas-ormas Islam ini bisa bersinergi satu sama lain untuk menguatkan pondasi Agama yang sudah tertanam sejak dahulu.
Sangat terlihat jelas, saat isu kenaikan harga BBM beberpaa bulan yang lalu, tiap-tiap ormas melakukan aksi untuk menunjukkan eksistensinya masing-masing dengan cara yang berbeda-beda. Dengan satu tujuan, tapi cara yang berbeda. Refleksi yang hampir sama dengan pergerakan ormas-ormas Islam di Indonesia sendiri saat mereka serempak untuk menolak kedatangan Lady Gaga, salah satu penyanyi kontraversional dunia beberapa minggu yang lalu. Dimana semua elemen masyarakat Islam serasa bergerak beriringan menjunjung satu tujuan. Jurnalis-jurnalis Islam berjuang lewat opini-opini di media massa, Ormas Islam berperan dalam lobi dan aksi, kemudian PKS dan PPP sebagai partai Islam jaga gawang di DPR. Semua nampak indah saat bersinergi untuk satu tujuan. Dan akhirnya mereka pun berhasil menolak Lady Gaga. Mungkin beberapa tahun yang lalu, atau bahkan hingga sekarang, beberapa masyarakat melihat UIN dengan sebelah mata dan ketakutan. Ketakutan akan kesesatannya, keliberalannya, keradikalannya, dan lain sebagainya. Padahal, jika mereka ingin menilai mereka harusnya sudah merasakan. Tidak bisia opini dijadikan pendapat yang valid jika belum ada pembuktian yang jelas. Jika pun mereka sudah mendapatkan bukti-bukti akan hal itu, harap ditinjau lagi bahwa satuan tidak bisa menjadi indikator untuk keseluruhan. Melihat keragaman yang majemuk seperti ini. Intinya, kembali ke diri kita masing-masing, pada masa-masa menuju kedewasaan dan pencarian Tuhan ini, manakah ideologi yang menurut kita baik, ikuti saja secara tegas dan konsisten. Yang Kafir sudah jelas salah, tapi yang munafik itu yang lebih membahayakan.
Aku sendiri sekarang sedang dalam masa penjajakan untuk mengetahui semua ideologi-ideologi ormas tersebut. Lewat seminar-seminar yang diadakan, buku-buku yang dibagikan, dan kajian-kajian khusus yang radikal. Semua tergantung bagaimana kita bisa menyaring informasi yang masuk dalam otak kita.
Wallahua’lam Bissowab.